sebuah daerah Konflik, beberapa tahun yang silam di Sebuah Rumah sakit. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul duabelas malam lewat. Seharusnya Reno sudah pulas tertidur. Tapi laki-laki bertubuh tegap itu masih belum juga memejamkan mata. Hawa panas kini lebih terasa olehnya meskipun kipas angin besar yang melekat di bawah plavon itu terus berputar keras seakan memaksa Reno untuk lebih betah berada di ruangan ini. Ruangan besar dengan berderet-deret tempat tidur busa dilapisi sprei putih. Di atasnya terlipat rapi selimut bergaris-garis biru seperti yang umum digunakan secara masal oleh suatu instansi. Bau obat-obatan menerpa hidung Reno, menusuk tajam. Bau khas sebuah rumah sakit yang sudah lebih satu bulan menemani Reno dalam perjuangan antara hidup dan mati, melawan sakit yang telah mengungkungnya hingga harus berada di ruangan besar memanjang yang kini mulai terasa membosankan. Laki-laki muda itu tergolek lemah. Ia merasa galau, sedih dan seakan baru saja kehilangan. Dua buah tempat tidur disebelah Reno yang tadinya terisi kini telah kosong, karena dua orang pasien yang menempatinya telah sejak sore tadi meninggalkan rumah sakit itu. Seminggu terakhir mereka serasa dekat dan akrab sepanjang waktu, mungkin karena merasa sepenanggungan, sama-sama menahan sakit di saat sedang penugasan, walaupun dari kesatuan dan daerah penugasan yang berbeda. Sakit di tubuh Reno jadi terasa ringan dan seakan terbagi dengan mereka. Ruangan ini sekarang kosong, kekosongan yang tiba-tiba. Sepi mengepung kesendirian Bripda Reno Aji. Slang infus masih menempel di lengan Reno, dengan jarumnya yang tertancap kuat. Desir-desir cairan infus yang mengalir ke pembuluh darahnya terasa seperti lelehan es yang mencengkeram kebebasannya. Mata Reno yang bulat dengan alis tebalnya telah berkali-kali mencoba terpejam, tapi susah setengah mati. Persis di dekat pintu utama bangsal, terlihat dua orang bertubuh tegap baru saja selesai serah terima tugas berjaga, tugas menunggu dan menemani Reno. Malam ini giliran Ibrahim yang 'menginap' sampai pagi. Reno tahu bahwa Ibrahim tak begitu tahan dengan bau obat-obatan sehingga lebih suka berjaga di dekat pintu bangsal, sambil tetap siaga. Ibrahim adalah anggota Regu Reno yang paling matang, paling berani dan cekatan dalam bertindak dibanding teman-teman satu regu lainnya. Dengan tubuh yang tinggi besar itu Ibrahim terlihat lebih gagah dan sangar, apalagi ketika sedang mengenakan pakaian dinas. Reno merasa beruntung dengan adanya Ibrahim di regunya. Berbagai pengalaman tempur yang sudah dialami Ibrahim dari setiap daerah konflik dimana ia bertugas dulu, membuat Ibrahim tampak matang sebagai seorang wakil Komandan Regu, tapi sering ia bertukar posisi sebagai speed satu, yang bergerak paling depan di dalam setiap kegiatan patroli jalan kaki yang mereka lakukan. Ia pula yang pertama kali menemukan keberadaan Reno bersama dengan kedua temannya saat sebelumnya Reno hampir mati dalam kepungan orang-orang bersenjata lengkap ketika itu. Suara Ibrahimlah yang terdengar oleh Reno saat itu, saat ia nyaris nahas karena kehilangan kontak. "Danru..." "Danru...." Suara Ibrahim yang membangunkan Reno dari ketersesatan yang terjadi karena pengaruh sesuatu yang kasat mata ketika itu, di sebuah belantara. Merebak kembali dibenak Reno, pagi buta sebelum kejadian itu pleton mereka akan bergerak menyusuri daerah rawan yang sudah menjadi target dalam pemberantasan gerakan sparatis. "Danru, regumu sisir lewat jalur timur, tetap pertajam dan siaga sepanjang rute." kata Danton ketika selesai memberikan Amanat sambil menyemangati. Ia menepuk bahu Reno. "Siap Komandan!" jawab Reno singkat. Pagi itu satu regu yang tak kurang dari sepuluh orang segera beranjak. Regu-regu yang lain disebar melalui jalur yang berbeda. Memang rute yang ditentukan oleh Komandan Kompi dibuat berbeda antara satu dan lain regu, di mana titik temu pada satu tempat telah ditentukan, untuk bergabung dalam konsolidasi satu kekuatan kompi penuh pada titik akhir patroli. Hari belum terang tanah ketika regu Reno mulai bergerak menyusuri daerah bergelombang dan berbatu-batu. Sebuah perjalanan yang terasa melelahkan. Dengan memanggul senjata panjang yang siap menyalak dalam posisi buka kunci, setiap mata mereka akan selalu bergerak menyapu setiap sudut dan gerumbul semak sepanjang rute, mata yang selalu siaga. Apalagi bila tampak satu gerakan yang mencurigakan di balik semak itu, mereka tak boleh keduluan lawan. Setengah jam berikutnya regu mereka sudah berada di belantara terjal berbukit dengan semak ilalang yang tinggi. Hampir dua jam mereka menelusuri medan terjal bersemak yang membuat perih dan terasa gatal di tangan dan leher saat sisi-sisi ilalang segar itu tersentuh langsung di kulit. Rumput-rumput liar yang mereka terjang itulah penyebabnya. Dua jam berikutnya keringat sudah membanjir di seluruh tubuh para pemburu, kini regu Reno sudah terpencar menjadi tiga kelompok dan meneruskan patroli lintas medan dengan menerobos semak belukar yang semakin meninggi, tak ada jalan lain di sana, selain jalan setapak yang mau tak mau mereka harus bisa menembusnya. "Tam... tam... tam..." Terdengar rentetan suara tembakan. Secara serentak menjatuhkan diri, tiarap dan menghindar dengan mencari perlindungan masing-masing, yang biasa mereka menyebutnya dengan lindung tembak. Tak ada kelanjutan dari suara tembakan itu selain hanya sepi yang menyeruak Kesepian sebuah hutan, burung-burungpun seakan tak berani menampakkan diri. Tak terlihat gerakan apa-apa selain dari gerakan mereka sendiri. Menit berikutnya mereka melanjutkan lagi perjalanan dengan lebih waspada. Dalam fikiran mereka tentulah gerombolan bersenjata itu sedang mengintai, entah dari kejauhan entah dari balik bukit yang tampak angkuh di belakang mereka. Kini mereka terpencar satu-satu. Tak ada tanda-tanda tersesat, mereka tetap pada formasinya, hanya beberapa orang di belakang Reno yang semula masih sesekali terlihat oleh Reno, dalam pandangan Reno tak tampak apa-apa. "Pastilah mereka mencari perlindungan di antara belukar di arah timur, dimana terdapat gundukan-gundukan tanah meninggi dengan pohon-pohon menjulang. Reno bergerak cepat ke balik pepohonan ketika tiba-tiba suara tembakan itu bergema lagi, tapi hanya sesaat saja suara itu muncul, lain tidak. Gelap sekejap dan mata Reno berkunang-kunang. Sepi terasa mencekam ketika Reno menoleh ke kiri kanan pemandangan di sekitarnya. Pesawat Radio dibahu Reno tiba-tiba berbunyi keras, tapi tak ia mengerti akan arti dari suara-suara yang keluar itu, semua terasa asing. Suara-suara itu menggunakan bahasa yang aneh, bahasa yang tak pernah Reno dengar sebelumnya. Lalu ia pelankan suara HT, dan detik berikutnya terdengar gemeresak ranting terinjak beberapa meter di depan Reno. Di depan Reno, tampak seorang laki-laki berseragam hijau sepertinya. "Ach, ternyata Ismanto masih di sini..." batin Reno lega, antusias dengan sosok tegap belasan meter di depannya yang menoleh dan melambaikan tangan. "Danru..." suara itu terdengar pelan menyebut nama panggilan Reno, lalu Reno bergegas melangkah untuk melihat perkembangan dalam sekejab kejadian tadi. Ia sudah cukup merasa aman dengan berjalan merunduk dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak yang melebat Beberapa saat menerobos rimbunan ilalang, kini Reno semakin dekat dengan sosok Ismanto. Ia semakin mendekat dan melihat ada sesuatu yang aneh, sosok didepannya itu tak menggunakan sepatu lars sebagaimana biasa mereka gunakan selama ini. "Apakah Ismanto telah melepasnya?" demikian kata hati Reno. Tapi ia lebih kaget dengan penglihatannya sendiri ketika matanya tertumbuk pada tulisan di bahu kiri seragam sosok itu, bukan bordir nama kesatuan dengan format yang masih berlaku. Kini Reno sudah beriring hadap dengan Ismanto. "Kamu pakai baju lama Ismanto..?" tanya Reno dengan mimik keheranan. Kini sosok di hadapan Reno menatap dengan tatapan mata kosong. Reno merasakan tatapan itu begitu nelangsa dan terlihat pucat. Sosok itu mengangguk lemah dan tersenyum. Seketika Reno bergidik ketika tiba-tiba matanya menagkap perubahan aneh terjadi pada wajah laki-laki di depannya, wajahnya tak lagi iakenal. Sosok itu bukan Ismanto. Ya, IA BUKAN ISMANTO! "Haaaaah...?" Belum selesai keterkejutan Reno pada sosok yang disangka Ismanto itu, pemandangan tak kalah aneh dan mengerikan terjadi lagi. Dari celah mata sosok laki-laki itu mengalir cairan kental berwarna merah, ya. Darah mengalir dari mata laki-laki asing itu yang kini tampak berlubang. Detik berikutnya sosok itu menyeringai dan lalu jatuh terjerembab di hadapan Reno. Seperti tersihir, Reno ternganga dan takjub dengan pemandangan mengerikan di depan matanya. Perlahan sosok itu tampak memudar dan semakin memudar, kemudian menghilang. Kini Reno tersadar bahwa ia sendirian kini, di balik gerumbul semak itu. Bersambung |